PKS Ngawen - JAKARTA - Wakil
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fahri Hamzah meminta Menteri Dalam
Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo untuk terlebih dahulu memikirkan konsep
sebelum dana Rp 1 triliun itu digulirkan ke publik.
Menurut Fahri, harus ada diskursus soal pembiayaan politik di Indonesia.
"Wacana itu bagus, tapi jangan masih pagi, sudah sebar angka. Harus ada diskursus soal pembiayaan politik di Indonesia. Implementasi peraturan yang dibuat pemerintah harus bisa memberantas korupsi," katanya kepada wartawan di gedung DPR RI, Jakarta Selatan, Senin (09/03).
Fahri menyarankan Menteri Tjahjo untuk membicarkan konsep yang matang dengan para aktivis pemberantas korupsi.
"Lalu di cek, ada enggak negara yang bersih soal ini, regulasi keuangan politik itu syaratnya untuk pemberantasan korupsi," imbuhnya.
Berkaitan dengan kampanye parpol saat pemilu, dana Rp 1 triliun itu harus bisa mengakomodir pembiayaan yang biasanya digelontorkan calon kepala daerah dengan uang pribadi.
"Maka di situlah peluang korupsi terjadi saat sudah menjabat sebagai pejabat negara," imbuhnya.
"Harus diatur, enggak ada logikanya bupati korbanin Rp100 miliar untuk biaya kampanye, nanti dapat gaji cuma Rp 6 juta per bulan, enggak masuk akal itu," ujarnya. [SP]
Menurut Fahri, harus ada diskursus soal pembiayaan politik di Indonesia.
"Wacana itu bagus, tapi jangan masih pagi, sudah sebar angka. Harus ada diskursus soal pembiayaan politik di Indonesia. Implementasi peraturan yang dibuat pemerintah harus bisa memberantas korupsi," katanya kepada wartawan di gedung DPR RI, Jakarta Selatan, Senin (09/03).
Fahri menyarankan Menteri Tjahjo untuk membicarkan konsep yang matang dengan para aktivis pemberantas korupsi.
"Lalu di cek, ada enggak negara yang bersih soal ini, regulasi keuangan politik itu syaratnya untuk pemberantasan korupsi," imbuhnya.
Berkaitan dengan kampanye parpol saat pemilu, dana Rp 1 triliun itu harus bisa mengakomodir pembiayaan yang biasanya digelontorkan calon kepala daerah dengan uang pribadi.
"Maka di situlah peluang korupsi terjadi saat sudah menjabat sebagai pejabat negara," imbuhnya.
"Harus diatur, enggak ada logikanya bupati korbanin Rp100 miliar untuk biaya kampanye, nanti dapat gaji cuma Rp 6 juta per bulan, enggak masuk akal itu," ujarnya. [SP]