Salah Kaprah Publik Indonesia Tentang PKS dan Peranannya dalam Politik Nasional

advertise here



PKS
Ngawen -  
Belakangan ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi subjek kritik tajam di media sosial. Kritik ini muncul karena sejumlah langkah politik yang diambil oleh PKS, mulai dari dukungan terhadap Bobby Nasution di Sumatera Utara, hingga pembatalan dukungan untuk Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI Jakarta. 

Tak heran, partai yang dianggap sebagai harapan terakhir bagi “kewarasan” politik di negeri ini kini dituding sebagai bagian dari rezim yang mendukung dinasti kekuasaan.

Namun, ada beberapa cara berpikir yang tidak tepat tentang PKS yang perlu diluruskan. Setidaknya ada delapan kesalahpahaman umum masyarakat terkait PKS:

1. Tidak Konsisten dengan Sikap Oposisi

Salah satu kesalahan berpikir utama adalah menganggap bahwa bergabungnya PKS dengan pemerintahan Prabowo sama dengan PKS tidak konsisten dengan sikap oposisi yang selama dilakukan terhadap pemerintahan Jokowi. 

Meski kemenangan Prabowo tidak lepas dari dukungan Jokowi, namun masing masing pemerintahan memiliki gaya kepemimpinan, karakter, dan jaringan internasional yang berbeda. 

Perlu diingat, hubungan PKS dan Prabowo sudah terjalin sejak satu dekade lalu, sementara hubungan PKS dengan Jokowi terjadi pada tahun 2005 saat Pilkada Solo.

2. Tidak Mendukung Anies Berarti PKS Tidak Konsisten Sebagai Opisisi Pemerintahan Jokowi

Logika ini juga keliru. Memang benar Anies Baswedan adalah antitesa dari Jokowi, namun PKS bukanlah Anies, dan Anies bukan PKS. Dalam sejarahnya, PKS telah menunjukkan komitmen untuk mendukung figur yang berlawanan dengan Jokowi. 

Keputusan PKS untuk tidak mendukung Anies saat ini lebih terkait dengan dinamika internal dan realpolitik, bukan karena PKS mendukung Jokowi.

3. Mendukung Bobby Nasution = Mendukung Dinasti

Dukungan PKS terhadap Bobby Nasution di Sumatera Utara tidak serta-merta berarti PKS mendukung politik dinasti. Sejarah menunjukkan bahwa PKS tidak pernah mendukung politik dinasti, baik di Depok maupun di Jawa Barat. Dukungan PKS terhadap Bobby lebih merupakan refleksi dari realitas politik lokal di Sumatera Utara, bukan dukungan terhadap dinasti Jokowi.

4. Masuk Kabinet = Tunduk pada Oligarki

Anggapan bahwa masuk kabinet berarti tunduk pada oligarki adalah pandangan yang terlalu simplistis. Oligarki ada di hampir setiap negara di dunia, dan yang penting bukanlah keberadaan oligarki itu sendiri, melainkan bagaimana pemerintah mengelola hubungan dengan para pengusaha besar. 

Dalam sejarahnya, PKS telah menunjukkan bahwa mereka tidak selalu tunduk pada kepentingan oligarki, baik saat berada dalam pemerintahan SBY maupun dalam pemerintahan daerah yang dipimpin oleh kader PKS.

5. Berkoalisi dengan KIM = Tidak Tahan Menjadi Oposisi

Menjadi oposisi atau koalisi bukanlah soal daya tahan, melainkan soal strategi perjuangan politik. PKS telah lama berjuang sebagai oposisi, namun hasil yang dicapai sering kali tidak maksimal. 

Dengan berkoalisi, PKS berharap dapat memperjuangkan kepentingan rakyat dengan lebih efektif, karena memiliki akses langsung terhadap kekuasaan eksekutif.

6. PKS Jualan Agama = PKS Munafik

PKS memang partai dakwah yang lahir dari gerakan dakwah, dan karenanya mereka selalu membawa pesan-pesan agama dalam aktivitas politiknya. Namun, menyebut PKS sebagai partai munafik karena ini adalah pandangan yang tidak berdasar.

7. Menerima Jatah Menteri = Tidak Tahan Godaan Koalisi

Politik memang selalu melibatkan pembagian kekuasaan, dan menerima jatah menteri adalah hal yang wajar dalam konteks ini. 

Penting untuk diingat bahwa PKS telah menolak tawaran posisi menteri dari Jokowi pada masa lalu. Jika sekarang mereka menerima tawaran dari Prabowo, itu lebih merupakan konsekuensi logis dari aliansi politik yang telah lama terjalin.

8. Kekuasaan adalah Kunci untuk Berkontribusi

Prestasi menteri-menteri dari PKS dalam pemerintahan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan memegang kekuasaan, PKS mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Keberhasilan ini hanya dapat dicapai jika PKS memiliki akses terhadap kekuasaan eksekutif, dan inilah alasan mengapa kekuasaan tetap menjadi faktor penting dalam perjuangan politik PKS.

Kesimpulan PKS adalah partai yang dinamis, dan keputusan-keputusan yang mereka ambil selalu didasarkan pada perhitungan politik yang matang. 

Kritik dan pengawasan publik memang diperlukan, namun sebaiknya kritik tersebut didasarkan pada pemahaman yang benar dan bukan pada asumsi atau misinformasi. 

Dengan demikian, kita dapat mendorong dialog politik yang lebih sehat dan konstruktif di Indonesia.