Kini sedang
marak, di mana-mana orang lagi gandrung (cinta banget) pada batu (batu akik dan
semacamnya). Kecintaan yang sedemikian itu bagi yang jeli, mengandung beberapa
persoalan. Ada soal pemborosan, kebanggaan (yang sejatinya secara maknawi
merugikan pelakunya), dan bahkan dapat merusak keimanan bila batu itu
dipercayai punya tuah, kesaktian dan sebagainya.
Dari segi
masalah pemborosan, jauh-jauh hari Islam telah memperingatkannya. Allah Ta’ala
berfirman:
وَلَا
تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا [الإسراء/26، 27]
… dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.(QS Al-Israa’/ 17: 26, 27).
Di samping
ada peringatan dari Allah Ta’ala, kenyataan di dalam pergaulan hidup pun perlu
dikembalikan kepada fungsi-fungsi yang seharusnya. Dalam kaitan dengan fenomena
maraknya cinta batu, kini jari-jari tangan yang seharusnya untuk bekerja,
tampaknya oleh sebagian orang seakan dialihkan fungsinya, sebagai centelan/
gantungan batu akik. Hingga jari-jari yang seharusnya santai dan enak ketika
pemiliknya sedang berjalan atau sedang apapun, terpaksa harus ngangkang
secara tidak bebas lagi. Pemilik jari-jari itupun ketika berjalan, lambaian
tangannya menjadi kaku bagai robot, tapi mungkin bangga.
Dari situ,
bila tanpa bangga pun sebenarnya telah menambah anggaran bagi jari-jari itu.
Anggaran di situ maknanya pemborosan, menyia-nyiakan harta, suatu tingkah yang
dilarang agama. Apalagi kalau ditambah dengan bangga, maka bila sampai
mengandung unsur merendahkan orang lain (karena orang lain dianggap tidak
sehebat dirinya dalam hal batu ini) maka berarti sombong. Sedang sombong adalah
sikap yang sangat dibenci oleh Allah Ta’ala.
إِنَّ
ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا ٣٦ [سورة النساء,٣٦]
Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri[An Nisa”36]
Masih ada
yang lebih gawat lagi, bila batu akik dan semacamnya itu dipercayai memiliki
tuah, kesaktian, kekuatan, keampuhan dan sebagainya.
Mari kita bicarakan
masalah ini dengan sejenak kembali mengingat peristiwa masalah batu yang
dipercayai secara menghebohkan di Indonesia.
Kasus batu
dukun Ponari di Jombang Jawa Timur
Bulan Juni,
2011, pernah ada kasus Ponari dan Dewi, dukun cilik di Jombang Jawa Timur yang
dianggap sakti karena dipercaya bisa menyembuhkan segala macam penyakit, berkat
batu petir yang dimilikinya.
Itu
sisa-sisa keyakinan primitif yang bersumber pada ajaran dinamisme, yang dalam
Islam disebut syirik, menyekutukan Allah Ta’ala dengan lainnya. Karena
menganggap batu itu sebagai batu sakti yang memiliki kekuatan untuk
penyembuhan. Kecuali kalau khasiat untuk obat itu ada landasan dalilnya yang
shahih, misalnya air zamzam, madu, dan habbatus sauda’ (jinten hitam), yang
disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak dibuktikan dengan
ilmiyah pun kalau dalilnya shahih maka boleh. Apalagi ternyata itu memang bisa
dibuktikan secara ilmiyah lantaran memiliki kandungan yang berunsur obat.
Demikian
pula barang-barang yang bisa dibuktikan secara ilmiyah memang bisa untuk obat,
karena mengandung unsur-unsur obat, maka boleh-boleh saja untuk berobat, asal
bukan barang haram. Hanya saja yang menyembuhkan tetap lah Allah Ta’ala.
Namun ketika
batu dan lainnya dipercaya sebagai barang ajaib dan menyembuhkan aneka
penyakit, tanpa bukti-bukti ilmiyah dan juga tanpa dalil syar’i, maka ini
termasuk yang digolongkan mempercayai kekuatan sakti pada selain Allah. Dalam
keyakinan Islam digolongkan syirik, menyekutukan Allah Ta’ala. Itu dosa
terbesar.
Mungkin
orang masih berkilah, bahwa batu yang dianggap sakti itu hanya sarana, sedang
yang dipercayai menyembuhkan tetaplah Allah. Perkataan itu sudah terbantahkan
sendiri, karena ketika menggunakan batu dengan dianggap sakti itu sendiri sudah
menabrak keyakinan bahwa yang menyembuhkan hanya Allah. Berbeda dengan obat
(baik yang ada dalil syar’inya maupun hasil ilmiyah— bukan karena menganggapnya
sakti atau punya daya kekuatan), yang memang sudah ada dalilnya agar berobat
tapi jangan berobat dengan yang haram.
عَنْ أَبِى
الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« إِنَّ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً
فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ ». (أبو داود ، والطبرانى ، وابن السنى ،
وأبو نعيم فى الطب ، والبيهقى عن أبى الدَّرْدَاءِ)أخرجه أبو داود (4/7 ، رقم
3874) وقال ابن الملقن فى تحفة المحتاج (2/9) : إسناد صحيح . وأخرجه الطبرانى
Dari Abu
Darda’ ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya
Allah ‘Azza wa Jalla telah menurunkan penyakit dan obat, dan telah menjadikan
obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah kalian; dan (tetapi) jangan kalian
berobat dengan yang haram. (HR Al-Baihaqi, Abu Daud, At-Thabrani, Ibnus
Sunni, Abu Nu’aim, dan berkata Ibnu Mulqin dalam Tuhfatul Muhtaj: sanadnya
shahih).
Fatwa Lajnah
Daaimah membedakan jimat dan bukan
Masalah
mengambil manfaat dan menolak bahaya dengan benda
Al-Lajnah
Al-Daaimah di Saudi Arabia (terdiri dari kibar ulama/ulama-ulama besar) ditanya
tentang sepotong kain atau sepotong kulit dan sejenisnya diletakkan di atas
perut anak laki-laki dan perempuan pada usia menyusu dan juga sesudah besar,
maka jawabnya:
“Jika
meletakkan sepotong kain atau kulit yang diniatkan sebagai tamimah (jimat)
untuk mengambil manfaat atau menolak bahaya, maka ini diharamkan, bahkan bisa
menjadi kesyirikan. Jika itu untuk tujuan yang benar seperti menahan pusar bayi
agar tidak menyembul atau meluruskan punggung, maka ini tidak apa-apa.” (Al-Lajnah Ad-Daaimah, Fatawa
al-‘Ilaj bi Al-Qur’an wa Assunnah, ar-Ruqo wamaa yata’allaqu biha, halaman 93).
Mencari
berkah pada pohon, batu dan sebagainya
Mencari
berkah kepada pohon, batu dan lainnya termasuk dilarang dalam Islam, bahkan
bila dilakukan maka termasuk kemusyrikan. Karena telah jelas dalam Hadits:
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ خَرَجَنَا مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ حُنَيْنٍ فَمَرَرْنَا
بِسِدْرَةٍ فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا هَذِهِ ذَاتَ أَنْوَاطٍ
كَمَا لِلْكُفَّارِ ذَاتُ أَنْوَاطٍ وَكَانَ الْكُفَّارُ يَنُوطُونَ بِسِلَاحِهِمْ
بِسِدْرَةٍ وَيَعْكُفُونَ حَوْلَهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ لِمُوسَى
اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةً إِنَّكُمْ تَرْكَبُونَ سُنَنَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Riwayat dari
Abi Waqid Al Laitsi, ia berkata: “Kami keluar kota Madinah bersama
Rasulullah menuju perang Hunain, maka kami melalui sebatang pohon bidara, aku
berkata: “Ya Rasulullah jadikanlah bagi kami pohon “dzatu anwaath” (pohon yang
dianggap keramat) sebagaimana orang kafir mempunyai “dzatu anwaath”. Dan adalah
orang-orang kafir menggantungkan senjata mereka di pohon bidara dan beri’tikaf
di sekitarnya. Maka Rasulullah menjawab: “Allah Maha Besar, permintaanmu ini
seperti permintaan Bani Israil kepada Nabi Musa: (‘Jadikanlah bagi kami suatu
sembahan, sebagaimana mereka mempunyainya’), sesungguhnya kamu mengikuti
kepercayaan orang sebelum kamu.” (HR Ahmad dan Al-Mushonnaf Ibnu Abi
Syaibah, hadits no 267, juga riwayat At-Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan
shahih).
Tafsir
Al-Qur’an keluaran Departemen Agama RI mengulas sebagai berikut:
Kenyataan
tentang adanya kepercayaan itu diisyaratkan hadits di atas pada masa dahulu;
dan masa sekarang hendaknya merupakan peringatan bagi kaum muslimin agar
berusaha sekuat tenaga untuk memberi pengertian dan penerangan, sehingga
seluruh kaum muslimin mempunyai akidah dan kepercayaan sesuai dengan yang
diajarkan agama Islam. Masih banyak di antara kaum muslimin yang masih memuja
kuburan, mempercayai adanya kekuatan gaib pada batu-batu, pohon-pohon, gua-gua,
dan sebagainya. Karena itu mereka memuja dan menyembahnya dengan ketundukan dan
kekhusyukan, yang kadang-kadang melebihi ketundukan dan kekhusyukan menyembah Allah
sendiri. Banyak juga di antara kaum muslimin yang menggunakan perantara
(wasilah) dalam beribadah, seakan-akan mereka tidak percaya bahwa Allah Maha
Dekat kepada hamba-Nya dan bahwa ibadah yang ditujukan kepada-Nya itu akan
sampai tanpa perantara. Kepercayaan seperti ini tidak berbeda dengan
kepercayaan syirik yang dianut oleh orang-orang Arab Jahiliyyah dahulu,
kemungkinan yang berbeda hanyalah namanya saja. (Al-Qur’an dan Tafsirnya,
Departemen Agama RI, Jakarta, 1985/ 1986, jilid 3, halaman 573-574).
(nahimunkar.com dalam judul News Maker from Jombang February 20, 2009 8:25 pm)
Demikianlah,
fenomena maraknya kecintaan pada batu yang seakan dianggap gejala biasa saja,
namun sejatinyaumat Islam sangat penting untuk berhati-hati. Kemungkinan
terkena larangan pemborosan harta, larangan bangga lagi pongah yang sangat
dibenci Allah Ta’ala, bahkan bila sampai batu-batu itu dipercayai memiliki
kesaktian dan sebagainya maka dikhawtirkan: Kepercayaan seperti ini tidak
berbeda dengan kepercayaan syirik yang dianut oleh orang-orang Arab Jahiliyyah
dahulu, kemungkinan yang berbeda hanyalah namanya saja, sebagaimana ditegaskan
dalam kitab Tafsir Kementerian Agama tersebut.
Semoga Allah
Ta’ala melindungi Umat Islam yang masih setia menjalani petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segala macam godaan dan gangguan yang bila
tidak hati-hati maka akan menjerumuskan ke jurang penyimpangan, bahkan
kemusyrikan. (*/arrahmah.com)